Implementasi Postmodern di Sekolah
Implementasi Postmodern Di Sekolah
Gerakan postmodernisme ini pada dasarnya muncul sebagai kritik atas kegagalan manusia modern (kehidupan modernitas) dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif dan berkeadilan sosial (Ritzer, 2003 : 31). Munculnya perang, gejolak sosial dan revolusi yang menimbulkan anarki dan relativisme total. Keadaan tersebut melahirkan sejumlah kegelisahan berkaitan dengan problem pengetahuan dasar manusia mengenai modernisme yang diklaim mengusung kemajuan, rasionalitas, dan sebagainya. Rasio manusia yang oleh masyarakat modern diyakini sebagai suatu kemampuan otonom, mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemudian diyakini pula mengatasi semua pengalaman yang bersifat partikular, dan dianggap menghasilkan kebenaran mutlak, dan tidak terikat waktu.
Asumsi-asumsi mutlak di atas dengan tegas ditolak oleh Heidegger, Horkheimer dan Adorno. Menurut mereka modern (modernisasi) bukanlah sekedar perjalanan terseok-seok, melainkan perjalanan ke sebuah disintegrasi total, sebuah malapetaka sejarah umat manusia. Dalam pemikiran Bataille, Rorty, Foucault, dan Derrida, juga terkandung “nafsu” yang sama untuk menyingkapkan bahwa “kehendak untuk menjadi modern tak kurang untuk berkuasa (Hardiman, 2003 : 151).
Gerakan postmodernisme ini pada dasarnya muncul sebagai kritik atas kegagalan manusia modern (kehidupan modernitas) dalam menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif dan berkeadilan sosial (Ritzer, 2003 : 31). Munculnya perang, gejolak sosial dan revolusi yang menimbulkan anarki dan relativisme total. Keadaan tersebut melahirkan sejumlah kegelisahan berkaitan dengan problem pengetahuan dasar manusia mengenai modernisme yang diklaim mengusung kemajuan, rasionalitas, dan sebagainya. Rasio manusia yang oleh masyarakat modern diyakini sebagai suatu kemampuan otonom, mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemudian diyakini pula mengatasi semua pengalaman yang bersifat partikular, dan dianggap menghasilkan kebenaran mutlak, dan tidak terikat waktu.
Asumsi-asumsi mutlak di atas dengan tegas ditolak oleh Heidegger, Horkheimer dan Adorno. Menurut mereka modern (modernisasi) bukanlah sekedar perjalanan terseok-seok, melainkan perjalanan ke sebuah disintegrasi total, sebuah malapetaka sejarah umat manusia. Dalam pemikiran Bataille, Rorty, Foucault, dan Derrida, juga terkandung “nafsu” yang sama untuk menyingkapkan bahwa “kehendak untuk menjadi modern tak kurang untuk berkuasa (Hardiman, 2003 : 151).
Untuk itu, usaha membebaskan diri dari dominasi konsep dan praktek ilmu, filsafat dan kebudayaan modern. Jika dalam visi modernisme, penalaran (reason) dipercaya sebagai sumber utama ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal, maka dalam visi postmodernisme hal itu justru dipandang sebagai alat dominasi terselubung yang kemudian tampil dalam bentuk imperialisme dan hegemoni kapitalistik. Sebuah warna yang paling dominan dalam masyarakat modern. Maka postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’. Meskipun postmodernisme sendiri juga berusaha menggiring manusia ke dalam sebuah paradoks, yaitu di satu pihak telah membuka cakrawala dunia yang serba plural yang kaya warna, kaya nuansa, kaya citra, tetapi di lain pihak, ia menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan–akan tanpa terkendali (Pilliang, 2004 : 358).
Persoalannya, bangunan epistemologi yang demikian, apakah mempunyai pengaruh signifikan dalam bidang pendidikan ? Kalaulah ia terintegrasi dalam filsafat sebagaimana dilontarkan oleh Lyotard, apakah sistem filsafat pendidikan dalam banyak hal juga mulai bersinggungan dengan gejala postmodernisme ? Lalu, bagaimana bentuk keterpengaruhan (kalau memang ada) dalam sistem pendidikan, baik persoalan kurikulum maupun praktek pengajarannya ? Sebab sejak beberapa dekade tema postmodernisme lebih banyak dikontekskan pada seni, arsitektur, kebudayaan, dan juga filsafat.
Untuk melihat pengaruh pendidikan (utamanya dalam persekolahan) oleh pendekatan postmodernisme memang sulit untuk dilacak. Hal ini dikarenakan sangat jarang diskursuspostmodernisme dikaitkan dengan masalah pendidikan. Akan tetapi, kalau diperhatikan secara kritis dan mendasar, berbagai bentuk kritik epistemologi yang ditampilkan oleh gerakan postmodernisme yang mengusung tema; dekonstruksi, pluralitas, anti kemapanan, deferensiasi, dan lain-lain, tampaknya secara implisit ditemukan dari problem pendidikan di Indonesia, maka untuk itu yang penting bagaimana menempatkan paradigma baru pendidikan Indonesia dari keterpengaruhan postmodernisme.
Pengaruh Postmodernisme Dalam Pendidikan
Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme, maka dapat dilacak dimana letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap paradigma pendidikan. Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah (pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’ dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat. Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Ruang pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu melalui pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah. Ivan Illich (2003 : 33-34) mengatakan bahwa proses pendidikan akan memperoleh keuntungan dari upaya membebaskan masyarakat yang cendrung mendewakan sekolah, dengan demikian kegiatan sekolah tidak lebih hanya sebagai pengkhianatan terhadap upaya pencerahan budi.
Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai) sertatransfer of knowledge (transformasi pengetahuan). Peran guru, bahkan juga institusi sekolah seringkali menampilkan diri dalam batas-batasnya sebagai pembelenggu kreativitas anak didik, anak didik disekolah sering diperlakukan oleh guru tak ubah sebagai bejana kosong yang siap diisi tanpa boleh dibantah, pendidikan seperti ini yang dikritik oleh Freire sebagai model pendidikan “gaya bank” (banking system) (Freire, 2002 : 28). Sementara pola Sistem Kredit Semester (SKS) bahkan juga ujian akhir nasional (UAN) sebagai ukuran terakhir kemampuan anak didik adalah representasi bagi ‘penindasan’ yang dilakukan institusi-institusi tersebut terhadap pengembangan kreativitas anak didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat, meminimilisasikan kemampuan anak didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi’ berdasarkan kemampuannya secara profesional, karena disibukkan dengan beban-beban yang cukup membelenggu.
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan dapat memberikan jawaban atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat modern, sehingga proses pendidikan hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal sejak awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia (Drost, 1998 : 74). Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian tidak hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara nalar rasional dan nalar spiritual.
Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep pendidikan nasional pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga kemampuan dasar yaitu kognitif, afektif serta psikomotorik (Suparno, 1996: 43). Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan out put pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan untuk memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan. Kritik postmodernisme atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang dimiliki manusia.
Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan. Kritik mendasar postmodernisme terhadap modernisme telah memunculkan berbagai tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme(Santoso, 2003 : 331), deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi munculnya model (paradigma) pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara ataupun masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Drost. J. (1998). Sekolah mengajar atau mendidik. Yogyakarta: Kanisius.
Freire, Paulo. (2002). politik pendidikan: kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan,Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hardiman, Budi. F. (2003). Melampaui positivisme dan modernitas: Diskursus filosofis tentang metode ilmiah dan problem modernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Illich, Ivan. (2003). Bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah. Terjemahan, Sonny Keraf. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Santoso, Listiyono, 2003, “Postmodernisme: Kritik Atas Epistemologi Modern, dalam,Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz, Yogyakarta
Pilliang, Amir Yasraf. (2004). Posrealitas: Realitas kebudayaan dalam era posmetafisika.Yogyakarta: Jalasutra
Ritzer, George. (2003). Teori sosial postmodern. Terjemahan, Muhammad Taufik Yogyakarta: Juxtapose.
Suparno, Paul. (2001). “Relevansi dan reorintasi pendidikan di Indonesia”, dalam, Basis, No. 01-02 Tahun ke 50, Januari-Februari
My Blog : rinisiski13.blogspot.com

Komentar
Posting Komentar